Kamis, 17 Februari 2011

Maulid Nabi dalam Pandangan Islam



Kita bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah. Diantara konsekuensi persaksian ini adalah kecintaan kita yang tulus dan benar kepada beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya) ;”Tidak akan sempurna iman seorang dari kalian sampai aku lebih dicintai dibanding orang tua, anak, dan seluruh manusia”. (HR.Bukhari Muslim dari  shahabat Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu). Dalam hadits yang lain beliau bahkan menyampaikan bahwa diantara tiga hal yang dengannya kita bisa merasakan manisnya iman adalah menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai melebihi apapun selain keduanya. (HR.Bukhari Muslim dari Anas ibn Malik).

Peringatan Maulid Nabi (maulidan)di bulan Rabi’ul Awwal dijadikan oleh sebagian kaum muslimin untuk mewujudkan kecintaan  mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di sisi lain, sebagian kaum muslimin tidak memperingati maulid tersebut bahkan mengingkarinya. Kalau demikian, mari kita terapkan firman  Allah (artinya) :” Kalau kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya; jika kalian benar – benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (An Nisaa 59). Ayat ini merupakan pedoman kita dalam setiap perselisihan yang terjadi : kembali kepada Allah-yaitu kembali kepada Al Quran, dan kembali kepada Rasul-Nya-yaitu kembali kepada sunnah/tuntunan beliau. Kalau ada dasar pedomannya dalam Al Quran dan Al Hadits yang shahih kita ambil dan kalau tidak ada dasarnya maka tidak kita ambil. Dalam hal ini patokan kita jelas, yaitu sabda nabi (artinya): “Barangsiapa melakukan suatu amalan ibadah yang tidak ada tuntunannya maka amalan itu tertolak.” (HR.Muslim)



Al Quran-dari Al Fatihah sampai An Naas-kalau kita teliti dengan seksama tidak ada ayat yang menuntunkan tentang maulidan ini. Al Hadits yang shahih pun tidak ada yang menuntunkan peringatan ini. Mari kita lihat lebih jauh. Sejarah Islam sejak beliau diangkat menjadi nabi sampai beliau wafat juga tidak secuilpun kabar sampai kepada kita tentang diadakannya maulidan ini; baik oleh nabi sendiri maupun oleh para shahabat beliau. Padahal, kita tahu bahwa diantara seluruh umat Islam, para shahabatlah yang paling mencintai beliau sampai – sampai mereka rela mengorbankan jiwa raga demi membela nabi. Mereka juga sangat bersemangat dalam mengikuti beliau sampai dalam hal – hal yang kecil dan mengabarkan kepada kita apa yang mereka dengar dan saksikan dari uswah/teladan utama yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai contoh, bagaimana mereka menggambarkan tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat bagaikan suara air yang mendidih di dalam panci. Maka, seandainya maulidan pernah beliau lakukan semasa hidup beliau pasti akan sampai kabar atau haditsnya kepada kita.

Setelah beliau wafat, apakah Abu Bakr memperingati maulid nabi? Umar? Utsman? Ali? Ternyata sama sekali tidak mereka lakukan maulidan. Bahkan pada tiga ratus tahun pertama dari sejarah umat Islam tidak pernah ada berita yang sampai kepada kita tentangnya. Padahal kalau kita cermati, masa – masa tersebut adalah masa dikobarkannya jihad fi sabilillah untuk menyebarkan Islam ke berbagai penjuru dunia dimana dengan peringatan maulid-sebagaimana alasan kaum muslimin yang memperingatinya-diharapkan tumbuhnya kecintaan kepada nabi dan ajaran Islam sekaligus semangat rela berkorban demi Islam. Maka,kita harus bertanya kepada diri kita mengapa generasi emas/terbaik dari umat Islam tidak memperingatinya? Jawabnya adalah karena ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk mengadakannya yaitu mereka mengerti bahwa maulidan bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya tidak menyenangi peringatan maulid ini dan bukan ibadah yang mendekatkan kepada Allah ‘azza wa jalla. Bahkan, mungkin bisa kita katakan bahwa peringatan maulid ini sengaja tidak dilakukan oleh manusia terbaik dan generasi Islam terbaik.

Satu hal penting lainnya adalah fakta bahwa tidak adanya maulidan oleh generasi salaf/pendahulu umat ini merupakan fakta yang diakui pula oleh kaum muslimin yang memperingatinya sekarang.
Lalu kapan mulai muncul peringatan maulid ini? Sejarah mencatat bahwa yang pertama memperingati maulid adalah Bani ‘Ubaid Al Qoddah Al Fathimiyyin pada abad keempat hijriyah. Mereka termasuk dalam kelompok Al Bathiniyyah yang dalam ajaran mereka dipenuhi dengan berbagai kekufuran, kesyirikan dan kebid’ahan yang sangat mengerikan. Bagi yang ingin lebih jauh mengetahui bagaimana ajaran kelompok pencetus peringatan maulid ini bisa membaca kitab Al Farqu bainal Firoq yang ditulis oleh seorang ulama bermadzhab Syafi’i.

Lalu, apakah kita memilih mengikuti nabi kita, para shahabat dan para salafus sholih dengan tidak memperingati maulid atau memilih mengikuti suatu kelompok yang ajarannya penuh kesyirikan, kekafiran, dan kebid’ahan dengan memperingati maulid?
Diadakannya peringatan maulid berarti :
-         menganggap Islam belum sempurna sehingga perlu tambahan
-         mengoreksi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menyatakan bahwa Islam telah sempurna
-         menuduh-walau tanpa disadari-bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menyampaikan syariat Islam dengan utuh atau yang lebih parah bahwa beliau berkhianat dalam penyampaian risalah dari Allah. Beliau pernah bersabda (artinya) :”Tidak seorang nabi pun kecuali wajib baginya untuk menunjuki umatnya setiap kebaikan yang dia ketahui bagi mereka.” (HR.Muslim)

Di sisi lain, sebenarnya para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal dan bulan kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang mengatakan di bulan Ramadhan, ada yang mengatakan 8 Rabi’ul Awwal, ada yang mengatakan 12 Rabi’ul Awwal, dan ada pula pendapat – pendapat yang lain. Ketidaksepakatan para ahli sejarah ini menunjukkan bahwa peringatan maulid bukan termasuk ajaran Islam.    Seandainya termasuk ajaran Islam, niscaya kaum muslimin sejak dulu akan meneliti dengan cermat dan membuat kesepakatan tentang tanggal dan bulan kelahiran beliau yang menjadi dasar peringatan maulid.

Selain itu, pada peringatan maulid terjadi pujian – pujian yang berlebihan kepada Rasulullah sampai menyerupakan beliau dengan Allah ‘azza wa jalla yang ini tidak lain merupakan keyakinan orang Nasrani kepada Nabi Isa ‘alaihis salam. Mereka melantunkan dalam Qasidah Burdah Bushiri :
Ya akromal kholqi ma li man aludzu bihi      siwaaka ‘inda hululil haditsil ‘umami (artinya) “Wahai makhluk termulia[yakni Rasulullah], tiada satupun yang bisa kumintai tolong selain engkau ketika ada kesusahan menimpaku” Lalu dimana Allah rabbul ‘alamin? Bukankah Dia Zat Yang Maha Kuasa? Dan masih banyak bait – bait syair lain yang penuh dengan kesyirikan seperti dalam Al Barzanji sering terlantun ketika diadakan maulidan.

Ditambah keyakinan bahwa ketika maulidan ruh Rasulullah datang sehingga para hadirin berdiri menyambut kedatangan ruh Rasulullah. Tentu keyakinan datangnya ruh Raasulullah ini adalah keyakinan yang sama sekali tidak ada dasarnya melainkan khurafat belaka.
Mungkin ada yang berdalil dalam peringatan maulid dengan ayat (artinya):” Katakanlah: dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya, dengan itulah maka bergembiralah kalian” (QS.Yunus 58). Mereka berkata : Kita diperintahkan bergembira dengan adanya rahmat Allah dan nabi kita adalah bagian dari rahmat Allah dengan dasar firman-Nya (artinya) : “Dan tidaklah Kami mengutusmu [wahai nabi] melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al Anbiyaa 107). Maka, sebagai bentuk kegembiraan kita dengan rahmat Allah berupa diutusnya Rasulullah adalah dengan mengadakan peringatan maulid.
Demikian mereka berargumen/beralasan. Jawabnya :
  1. Berdalil dengan kedua ayat di atas untuk menyelenggarakan maulid tidak pernah dilakukan para salaf/pendahulu umat ini; buktinya tidak ada maulidaan di zaman mereka. Kalau kita buka kitab – kitab tafsir para ulama tidak akan ditemukan pendalilan seperti di atas untuk membolehkan maulidan.
  2. Ayat dalam surat Al Anbiyaa 107 di atas menyebutkan pengutusan Rasulullah sebagai rahmat, bukan kelahiran beliau sebagai rahmat. Artinya, berdalil dengan ayat tersebut untuk maulidan sangat tidak pas.
Ada pula yang berdalil dengan sebuah hadits bahwa Rasulullah mengaqiqohi dirinya sendiri. (HR.Baihaqy dari shahabat Anas ibn Malik). Jadi, mereka menganggap Rasulullah mengadakan maulidan dalam bentuk aqiqah untuk beliau sendiri.
Namun, ternyata hadits tersebut lemah karena ada seorang periwayat hadits yang bernama Abdullah ibn Muharror dinyatakan dha’if atau lemah. Para ulama ahli hadits melemahkan hadits ini seperti Imam Malik, Ahmad, dan juga dua ulama besar madzhab Syafi’i yaitu Al Baihaqy dan An Nawawi rahimahumullah.
Sebagai penutup,kalau masih ada yang maulidan dengan mengatakan saya hanya ingin mengagungkan kanjeng nabi atau mengatakan yang penting kan niatnya ; maka ada nasihat dari Abdullah ibn Mas’ud yang sangat indah :Betapa banyak orang yang ingin kebaikan namun tidak bisa meraihnya.
Wallahua’lam.
(disarikan dari tulisan Syaikh  Abdul Aziz Alu Syaikh dengan beberapa perubahan).

Cre : http://assunnahmadiun.wordpress.com/2011/02/09/maulid-nabi-dalam-pandangan-islam/

0 komentar:

Posting Komentar